top of page

Haus ditengah Laut

Apr 6

3 min read

0

9

0

Waktu kecil, hidup itu simpel banget. Haus? Tinggal buka kulkas, ambil botol. Kalau nggak ada, ya tinggal teriak, “Mah, airnya abis!” Tapi sekarang, di umur 20-an, haus itu bentuknya nggak kelihatan. Bukan lagi tentang air, tapi tentang arah, rasa cukup, dan kenapa tiba-tiba ngerasa kosong padahal barusan ketawa sama temen-temen. Rasanya kayak lo lagi terapung di tengah laut luas. Air di mana-mana, tapi lo tetap kehausan. Mau minum malah makin bikin lo tenggelam. Nggak tahu harus ke mana, dan yang lebih parah: lo nggak tahu harus siapa.


Di umur segini, tiba-tiba semua hal yang dulu nggak penting jadi bikin mikir. Dulu naksir orang? Gampang. Sekarang? Nanya bales chat aja bisa lima kali baca ulang, dua kali delete, baru kirim. Kita jadi haus sama validasi. Pengen disukai, pengen dianggap cukup, tapi nggak tahu standar “cukup” itu siapa yang bikin. Dan akhirnya, kita mulai ngejar semua hal yang katanya bikin bahagia, tapi pas dapet… kok tetap ngerasa hampa?


Temen-temen mulai berubah. Dulu semuanya bareng-bareng. Sekarang, satu-satu mulai sibuk sendiri. Ada yang pacaran terus ngilang, ada yang tiba-tiba jadi “spiritual” terus nggak mau nongkrong, ada juga yang mendadak deep banget kayak barista filsafat. Lo ngeliat mereka jalan terus, sedangkan lo masih di tempat, muter-muter di labirin pikiran sendiri. Bukan karena nggak mau maju, tapi lebih ke: “Gue harus maju ke mana?” Yang paling ngeselin dari rasa haus ini adalah… nggak ada yang bisa lo minum buat langsung sembuh.


Lo udah coba semua: nonton film sendirian, journaling, dengerin podcast, coba meditasi, bahkan nyoba buka tarot di TikTok—tapi tetap aja kosong. Malam datang, kasur tetap dingin, kepala tetap ribut, dan hati tetap kering. Kadang lo pengen banget nangis, tapi nggak tahu alasannya apa. Nangis aja gitu. Kayak pengen ngeluarin sesuatu yang nggak bisa lo jelasin ke siapa pun.


Orang-orang di sekeliling lo juga nggak selalu ngerti. Mereka bilang, “Nikmatin aja prosesnya,” atau “Santai, semua orang juga ngerasain kok.” Tapi lo nggak butuh dikuatin, lo cuma pengen dimengerti. Dan ya… nggak semua orang bisa ngerti hausnya lo. Karena tiap orang hausnya beda. Ada yang haus cinta, ada yang haus penerimaan, ada juga yang haus arah. Dan lo? Mungkin lo cuma haus buat bisa bilang ke diri sendiri, “Gue baik-baik aja,” tanpa bohong.


Lo pernah nggak, ngerasa ada di tengah tongkrongan tapi ngerasa sendirian banget? Ketawa bareng, tapi hati kosong. Semua orang kelihatan deket, tapi nggak ada yang bisa lo peluk secara emosional. Bukan karena mereka jahat, tapi karena lo juga nggak tahu harus cerita dari mana. Kalimat “gue lagi gak baik-baik aja” terlalu berat buat dilontarin. Jadi lo tahan. Tersenyum, sambil dalam hati bilang, “Nanti juga hilang sendiri, kan?”


Tapi kenyataannya nggak selalu hilang. Kadang numpuk. Kadang nyesek. Dan di titik itu, lo baru sadar: lo haus. Tapi bukan haus karena kurang minum, tapi karena udah terlalu lama nyimpen luka tanpa pernah ngasih waktu buat sembuh. Lo pengen didengerin, tapi lo juga takut dinilai. Lo pengen dideketin, tapi lo juga dorong orang pergi. Lo bilang lo kuat, padahal dalam hati lo cuma pengen dipeluk dan dikatain, “Gak apa-apa, istirahat dulu.”


Ternyata, di tengah laut pun, lo bisa nemuin tempat buat napas. Kadang itu bukan kapal penyelamat, tapi temen yang tiba-tiba kirim meme konyol jam dua pagi. Kadang bukan jawaban besar, tapi pelukan kecil dari keluarga. Kadang bukan cinta yang penuh drama, tapi satu orang yang nyuruh lo makan karena “muka lo keliatan kurus.” Dan lo sadar, lo nggak butuh banyak. Lo cuma butuh yang tulus.


Di umur segini, kita semua lagi nyari sesuatu. Tapi seringnya, kita bahkan nggak tahu apa yang kita cari. Kita cuma ngerasa haus, jadi asal minum apa aja. Tapi akhirnya, lo akan nemu: bukan tentang seberapa banyak lo minum, tapi seberapa dalam lo ngerti rasa haus itu datangnya dari mana. Mungkin bukan dari kurang cinta, tapi dari diri lo sendiri yang lupa cara mencintai diri.


Gue nggak punya solusi. Gue juga masih sering kehausan. Tapi sekarang, gue mulai belajar buat diem sebentar. Nggak buru-buru nyari air. Nggak panik. Karena ternyata, rasa haus itu juga bisa jadi petunjuk: kalau lo haus, berarti lo masih hidup. Dan kalau lo masih hidup, berarti masih ada harapan.


Kadang lo nggak butuh lautan buat ngerasa tenang. Cukup semangkuk mie instan dan playlist lama yang lo putar ulang. Kadang lo nggak butuh orang banyak. Cukup satu orang yang bilang, “Aku dengerin kok.” Kadang lo nggak butuh tahu semuanya sekarang. Cukup tahu kalau lo nggak sendirian.


Dan saat lo terapung di tengah laut itu, sendirian, haus, bingung, capek—lo boleh kok berhenti berenang sebentar. Biarin air bawa lo ke mana pun. Karena kadang, jawaban datang bukan dari nanya terus… tapi dari berani diam. Dan percaya… bahwa laut pun, suatu saat, akan menepi.

Apr 6

3 min read

0

9

0

Related Posts

Comments

Share Your ThoughtsBe the first to write a comment.
bottom of page