Montero Nuel

Dari Bulan ke Matahari: Perjalanan Menemukan Harapan Lagi
Jan 30
2 min read
3
21
0
Pernah nggak sih merasa dunia ini nggak adil? Kayak, kita udah berusaha sebaik mungkin, tapi malah kena serangan tiba-tiba dari realita. Gue pernah ada di titik itu. Semua kayak jatuh sekaligus. Rasanya kayak main game yang tiba-tiba lag pas lagi lawan boss terakhir. Frustasi? Jelas. Nangis? Bisa jadi. Ngurung diri di kamar selama seminggu? Iya banget.
Bayangin, selama hampir seminggu, gue menarik diri dari semuanya. Kamar berubah jadi gua pertapaan. Interaksi sosial? Nihil. Makanan? Ya seadanya. Kalau ada yang lihat dari luar, mungkin bakal mikir, "Oh, ini semacam eksperimen manusia gua prasejarah." Tapi buat gue, itu fase krusial. Fase di mana gue merasa, "Oke, dunia boleh aja hancur, tapi minimal gue tetap eksis... walaupun eksisnya cuma di kasur."
Lalu di titik tertentu, muncul pikiran, "Ini nggak boleh terus begini. Kalau gue tetap tenggelam dalam kesedihan, yang ada malah gue kalah. Padahal harusnya gue yang menang atas diri sendiri." Nah, gue sadar bahwa yang namanya hidup itu bukan soal menghindari badai, tapi gimana kita tetap bisa nari di tengah hujan. Ya walaupun tarian gue lebih mirip orang kesetrum sih.
Titik baliknya? Validasi emosi. Terkadang kita terlalu sibuk nyuruh diri sendiri buat kuat, sampai lupa kalau ngerasa sedih itu wajar. Jadi gue coba embrace semua perasaan itu. Nangis ya nangis aja. Marah ya marah aja. Asal jangan sampai lempar piring karena piring nggak salah apa-apa.
Lalu satu hal yang gue sadari: hidup nggak berhenti. Suka nggak suka, dunia tetap jalan. Nggak ada tombol "pause" buat kasih kita waktu ekstra buat healing. Satu-satunya yang bisa dilakukan adalah ikut jalan. Pelan nggak apa-apa, yang penting tetap maju.
Dan gue nggak sendiri. Ada orang-orang yang peduli, yang tetap ada walaupun gue lagi dalam fase "pertapa mode on." Kadang kita nggak sadar kalau kita lebih dicintai dari yang kita kira. Bahkan orang-orang yang nggak kita sangka peduli, ternyata tetap ada di belakang layar, nunggu kita siap buat kembali ke dunia.
Dulu gue merasa kayak bulan yang cuma bisa bersinar karena pantulan cahaya orang lain. Tapi ternyata, ada waktunya buat jadi matahari, yang bisa bersinar sendiri. Bukan buat menerangi orang lain aja, tapi juga buat diri sendiri.
Sekarang? Gue mulai journaling. Nulis apa pun yang gue rasa. Kadang isinya motivasi, kadang curhatan, kadang cuma tulisan random kayak "Kenapa ayam goreng enaknya stabil di segala suasana?" Nggak penting? Mungkin. Tapi journaling bikin gue sadar kalau setiap hari ada sesuatu yang bisa gue syukuri.
Jadi kalau lo lagi ngerasa putus asa, ingat ini: dunia nggak nunggu kita bangkit, kita yang harus inisiatif. Lo nggak harus langsung lari kencang, cukup berdiri dulu. Ambil napas. Jalan pelan-pelan. Nggak apa-apa capek, nggak apa-apa jatuh lagi. Yang penting, jangan berhenti.
Karena kalau lo masih bisa baca tulisan ini, berarti lo masih punya harapan. Sekecil apa pun, harapan tetap harapan.